Teruntukmu Orang Ketiga, Kini Kamu Bisa Memiliki Dia yang Selama Ini Aku Perjuangkan Mati-matian

Berkali-kali kau mematahkan hatiku dengan sikapmu yang acuh nyatanya tak cukup. Justru sesering itu pula aku merangkai kembali hatiku yang entah kenapa semakin mencintaimu. Angan-angan yang selampau aku harap menjadi kenyataan, melancarkanku yakin bahwa suatu saat nanti kisah kita akan berakhir dengan kebahagiaan. Jadi meskilah sekarang aku merelakan perasaanku dinomorduakan. Asal kamu kelak mau menjadikanku keberkuasa anmu nomor satu. Menjadikan “kita” yang utama, maksudku.
Tapi jika terus begini, terus menjadi yang merelakan, ternyata lelah juga, sayang. Usahaku untuk melahirkan hatimu di sisiku, ternyata tak membuahkan hasil. Langkahku mulai berat dan aku ingat perlu mengadu pada siapa.
Kemarin aku berbisik di Tuhan, jika kamu memang jodohku, maka kekarkanlah hatiku. Jika tidak, tunjukkan lebih Buru-Buru, dan Tuhan mendengarku
Aku selintas percaya denganmu, meski mungkin berlipat-lipat janji yang tak pernah kau buktikan. Aku meyakinkan hatiku, bahwa kamu lah yang akan menjadi ayah dari anak-anakku, menjadi pendamping membesarku santak nanti maut memisahkan. Aku memberikan pemlurusan, bahwa ini sahaja menunggu waktu saja, saat aku tak merasa berjuang senbadanan. Tahun demi pahamn kita jalani, aku memilih untuk mengenang hal-hal bahagia denganmu. Meski diam-diam rasa kecewa yang pernah aku rasa berkumpul dan memutuskan untuk muncul berkembaran.
Kau kenal bagaimana rasanya hatiku saat kenal dia bungkam-bungkam telah kembali ke kebernyawaanmu? Aku loyal-loyal hancur, hingga berharap bangun lebih Gesit
Entah kenapa perjumpaan kali ini melahirkanku ingin maklum tentang apa yang selama ini kau simpan. Setiap kita bertemu aku perhatikan, kamu seterus sibuk dengan percakapanmu tinggal handphone dibanding dengan percakapan kita. Aku sahaja pernah sekali berPerkara, kamu bilang itu teman biasa. Aku tak pernah merasakan kamu sebahagia itu membalas pesanku. Bahkan sering kamu abaikan. Hingga akhirnya, ketika aku membaca percakapan yang terlihat seru itu, aku justru berharap tak pernah melihat itu.
Ya, melihat seseorang yang juga kau panggil sayang. Keatas dia yang kau ucapkan selamat malam dan mimpi indah. Terjawab sudah kemana ucapan-ucapan itu pergi. Karena sudah lama kita tak mengatup pembicaraan sebelum tidur seperti itu. Dengan tanganku yang gemetar, aku masih berharap bahwa apa yang aku saksikan adalah mimpi. Dan aku ingin bangun lebih Kencang dari mimpi yang terlampau menyakitkan ini.
Aku kesal dengan orangku yang terterus memperjuangkanmu, sesampai-sampai tak ada rada pun kepernahan untukmu memperjuangkanku
Bagaimana pun hancurnya hatiku saat paham ada orang lain yang kau perjuangkan lengang-lengang, aku justru lebih hancur karena batang tubuhku senbatang tubuh. Mengharap terdahulu penemuan baru atas hubungan ini. Berharap suatu saat kau akan mampu menghapus beratnya perjuanganku.
Kenapa mesti saat ini aku menyesal, mengapa tak dari dulu saja aku membatasi harapanku dan pengorbananku. Kenapa dia yang mesti kau perjuangkan? Kenapa bukan aku? Lagi-lagi aku menyalahkan hatiku senbatang tubuh, mengapa menjadi pihak yang kelewat berjuang, sehingga ia tak punya celah untuk memperjuangkanku. Dan apa yang aku korbankan selama ini, ternyata malah dinikmati oleh orang lain, bukan batang tubuhku senbatang tubuh.
Hatiku yang masih membantah kenyataan, memgagah kan diri untuk minta kejelasan pada dia yang kau panggil sayang. Ternyata tak tetapi aku yang mencintaimu
Aku lebih memilih untuk menghubunginya dengan baik-baik. Berharap tanggapanan yang keluar dari mulutnya adalah “kami saja teman biasa, tidak lebih”, walaupunpun sangat jarang pertemanan antara laki-laki dan gadis dibubuhi dengan panggilan sayang. Aku masih mencoba mengecoh hatiku dengan berpikir bahwa itu bukanlah apa-apa. Tapi apa yang dia sampaikan justru apa yang aku Risaukan. Aku hancur untuk ke sekian kalinya. Bagaimana mungkin hatiku akan baik-baik saja ketika aku peduli bahwa dia juga mencintaimu? Bagaimana mungkin aku yang modar-matian mengusahakanmu, tapi malah dia yang kau perjuangkan?
Aku bekerjan menyerah, belaka saja mengalah. Aku lurus-lurus lelah jika patut memperjuangkanmu yang nyatanya bisa saja kecukupku
Dibandingkan dengan kekecewaanku terhadapmu, aku lebih kecewa dengan batang tubuhku senbatang tubuh. Terterus mengikhlaskan batang tubuh untuk menjadi orang yang paling berkorban, yang paling berjuang berlalu pergi-matian untuk hubungan ini. Mengapa tak memilih menjadi orang yang mencintai secukupnya, sesantak tak perlu ada luka yang semenganga ini. Tak ada lagi rasanya yang perlu aku perjuangkan, meski kau ucapkn bekali-kali kata menyesal. Aku lah yang menyesal, mencintaimu terterus dalam.
Aku aktelseifn menyerah sayangku, cuma saja mengalah. Aku mengalah dengan kenyataan bahwa ada orang lain yang juga mencintaimu. Mungkin saja ia bisa menjagamu lebih daridi aku. Mungkin saja ia bisa bertarget lebih dari apa yang selama ini aku berikan.
Hari ini tentu saja aku masih marah. Mengumpat kenyataan dan takdir. Kenapa Tuhan memagarkanku bertarget seronggang ini. Tapi tak perlu khawatir, jika sudah saatnya tiba, mungkin aku akan berterima kasih pada Tuhan, bahwa aku layak melepasmu sekarang. Kekasihku, besok aku akan berhenti mencintaimu dan mengikhlaskan semua pengorbananku. Dan untukmu, orang yang dicintai oleh kekasihku lengang-lengang, tak perlu lagi menjadi yang kedua. Aku sudah melepaskannya untukmu :’)